![photo blog-IMG_5741_zpsgcsshb8u.jpg]()
Bagi saya tiga minggu pertama sejak Aura hadir di dunia ini adalah tiga minggu terberat yang pernah saya alami,
especially the breastfeeding part. Sebelumnya persalinan saya selalu membaca buku tentang
breastfeeding, membaca beberapa kisah dari teman-teman maupun blog-blog tentang
parenting dan
motherhood, mengikuti kelas laktasi, dll – tapi saya nggak menyangkan bahwa yang saya alami begitu berwarna.
Sama seperti calon ibu lainnya, saya selalu dihantui oleh pikiran dan rasa takut kalau-kalau Air Susu Ibu (ASI) saya nggak keluar setelah melahirkan. Nggak keluar, telat keluar atau nggak cukup. Saya berdoa terus tapi tak bisa dipungkiri bahwa saya cukup parno dan gelisah saat itu, tapi suami setiap malam selalu mendukung dan berusaha menepis kekhawatiran saya.
Saya menjalankan dan memilih persalinan C-Section. Bukan saya tidak mau atau takut menjalankan persalinan normal, saya memilih C-Section karena banyak sekali pertimbangan agar bayi yang saya kandung tidak terkena resiko apa pun – karena posisinya sudah sungsang dan tercekik tali pusat. Selain itu,
obgyn saya berkali-kali mengingatkan bahwa kehamilan saya adalah kehamilan langka, dimana saya bisa hamil karena program bayi tabung. Tapi keputusan saya harus C-Section justru membuat saya tambah khawatir, benar gak sih kalau operasi C-Section terus ASInya jadi
delay?
Ternyata nggak kok.
ASI yang berupa kolostrum langsung keluar 1-2 jam setelah saya selesai persalinan.
Apa saya berhasil Inisiasi Menyusui Dini (IMD)?
Nggak berhasil, karena saya ditambahkan obat penenang saat operasi – jadi baru bisa IMD dua jam setelah persalinan.
**
Saat awal menyusui, saya kerepotan dan
clueless. Semua teori-teori yang saya pelajari selama hamil langsung buyar.
Blar! Hilang begitu saja dari kepala.
Saya meminta suster menemani saya agar mendapat posisi menyusui yang benar. Anak saya, Aura, langsung mencoba menyusu begitu saya mencoba
skin-to-skin contact. Pintar sekali anak ini, pikir saya. Beberapa jam kemudian saya juga diminta suster lagi untuk menyusui.
Di hari kedua setelah persalinan, puting kanan saya mulai terasa perih. Saya melihat kulit yang retak, warnanya kecoklatan, ketika saya pencet rasanya perih. Seperti saran teman-teman, saya mengoleskan puting dengan
nipple cream agar lukanya cepat membaik. Saya pun menyusui Aura sambil meringis-ringis karena rasanya seperti disayat-sayat. Mungkin karena seumur hidup belum pernah merasakan puting lecet, jadi rasanya benar-benar sakit sekali – mengalahkan rasa sakit jahitan C-Section saya.
Di malam kedua kami di rumah sakit, tiba-tiba suster menyampaikan bahwa Aura harus disinar di ruang bayi karena bilirubinnya tinggi. Saya panik. Belum lagi saya sedih saat melihat wajahnya penuh bintik-bintik merah (yang ternyata karena alergi dengan makanan yang saya makan). Bibirnya yang kecil terlihat kering. Seluruh kulit wajahnya berwarna kuning.
Malam itu rasanya saya seperti ditampar, baru saja saya dan suami ingin berbahagia dengan kehadiran Aura di dunia – tapi Aura harus disinar di ruang bayi dan saya setiap menyusui harus pergi ke ruang bayi.
Dengan kondisi tubuh saya yang masih tergopoh-gopoh, setiap 2-3 jam sekali saya pergi ke ruang bayi yang jaraknya sekitar 30 meter dari kamar tidur saya di RS. Cukup jauh untuk ukuran seorang pasien yang baru operasi C-Section.
Ada saatnya saya
shock karena melihat pipi Aura terkena darah, yang ternyata adalah darah dari puting saya yang terluka. Setiap saya mengunjungi Aura di ruang bayi, perasaan saya sedih sekali. Baru saja tiga hari saya menjadi seorang ibu, tapi saya sudah dipisahkan dengan bayi saya. Rasanya sakit dan sesak di dada.
Yang membuat lebih sedih lagi, kami kedapatan Dokter Spesialis Anak (DSA) yang kalau ngomong kayak nggak pakai filter, nadanya seperti mengancam lalu ujung-ujungnya ngomongin susu formula karena saya dan Aura sama-sama belum lancar menyusu. Sebagai orang tua baru yang ingin memberikan ASI Eksklusif pada buah hatinya, saya dan suami lantas geram sekali mendengarnya.
*Sedikit catatan, saya nggak anti dengan susu formula. Tapi pada saat itu saya geram sekali karena ingin memberikan anak saya yang terbaik yaitu berupa ASI Eksklusif. Mohon ditanggapi dengan bijak :)
Di hari keempat, setelah Aura disinari selama 2 x 24 jam, kami diperbolehkan pulang oleh DSA-nya. DSA tersebut berpesan untuk datang dan
check up 3 hari lagi, karena berat badan Aura harus dipantau. Oiya, saat lahir berat badan Aura 2.855 gram dan saat dibawa pulang beratnya sekitar 2.500 gram.
Nah, ini dia yang seru..
Selamat datang realita!Tiga hari setelah Aura kami bawa pulang, saya tetap belum bisa menyusui dengan benar. Aura sering nangis sampai jejeritan dan saya hanya sendiri di rumah karena suami harus bekerja dua hari berturut-turut sampai larut malam. Saya kecapean, begitu juga Aura. Setiap saya bilang ke suami bahwa Aura rewel dan
cranky, suami saya yang saat itu hanya bersama Aura sebentar-sebentar menganggap Aura anteng-anteng aja. Saya mulai stres dan gelisah.
Sesuai dengan yang dijadwalkan, kami membawa Aura ke DSA-nya di RS PIK. Tapi kali ini kami langsung mengganti DSA dan akhirnya kami memutuskan untuk konsultasi dengan dr. Conny Tanjung.
Hari itu antrian dr. Conny ramai sekali, saat kami mengantri Aura jadi bahan tontonan suster-suster yang sedang menggendong anak majikannya. Mulai deh komentar-komentar bersautan, mulai dari komentar kenapa Aura ngga dibedong, ngga dipakein topi, dll dll. Saya dan suami yang sedang riweh sama tangisan Aura, langsung bingung dan panik. Dan yang lebih bikin panik lagi, ternyata Aura bilirubinnya belum juga turun. Seingat saya bilirubinnya menembus angka 18 saat itu. Dr. Conny menyarankan kami untuk pergi ke RS yang dekat dengan rumah kami dan minta agar Aura disinar lagi.
Kami langsung bergegas pulang ke rumah,
packing barang-barang (karena saya tau kami harus menginap di RS) dan langsung menuju ke RS Asih. Di RS Asih, DSA-nya menyarankan agar Aura menginap selama 1 malam. Tapi ternyata kamarnya penuh, akhirnya kami dirujukkan ke RS Brawijaya. Kami
check in sekitar pukul 5 sore hari itu, kamarnya sudah disiapkan dan Aura langsung disinari.
Setelah maghrib, suster-suster datang ke kamar kami. Ntah setan dari mana, salah satu susternya bilang, “Bu, dede-nya minum dari botol aja Bu. Supaya minumnya banyak. Karena kalau disinar, dede-nya jadi haus banget.”
Saya dan suami langsung saling melihat. Kami menjelaskan bahwa kami nggak mau pakai botol dot (sok idealis ceritanya), tapi karena saya kasihan sekali melihat Aura yang kehausan.. akhirnya ntah bagaimana kami setuju untuk memberikan Aura ASI yang sudah diperah.
Berhubung suami saya belum tidur cukup selama 2 hari dan suami belum hafal dengan barang-barang menyusui saya, saya nekat menyetir pulang ke rumah – padahal hari itu adalah hari kelima paska operasi C-Section dengan jahitan vertikal.
Where there’s a will, there’s a way. Saya berhasil pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang saya dan Aura, tanpa rasa sakit di bagian perut! Malam itu Aura langsung minum susu dari botol dot, yang diberikan oleh suster jaga. Anehnya, suster ‘setan’ yang menghasut kami untuk ngasih botol dot itu ngga keliatan lagi malam itu.
Besoknya saya meminta suster jaga untuk membuatkan
appointment dengan Dokter Laktasi, dengan tujuan agar cara menyusui saya bisa dievaluasi dan saya diajarkan menyusui dengan benar. Setelah makan siang, Dokter Laktasi datang dan saya bercerita tentang Aura yang diberikan botol dot. Muka si dokter langsung berubah, “Sudah dikasih berapa botol?”
Saya celingak-celinguk.
“Ehm.. kira-kira 5-6 botol, dok.”
Dokternya hanya diam, menatap saya dan Aura.. Lalu ia meminta saya untuk menyusui Aura. Drama pun dimulai, Aura meronta-ronta ketika disusui langsung. Istilah bekennya,
bingung puting. Saya mulai stress, Dokter Laktasi pun wajahnya agak kebingungan. Setelah beberapa saat, dokter membuka mulut Aura. Lalu ia bilang, “Pantes! Ini tongue tie.”
ARGH! Apaan lagi sih nih.. Yang belum kenal dengan istilah
tongue tie bisa baca di
sini ya.
Jadi pada saat proses menyusui berlangsung, bayi mengerakkan lidahnya dengan gerakan peristaltik dari depan ke belakang menyentuh langit-langit, sehingga ASI keluar ke mulut bayi. Intinya kalau
tongue tie tuh bayinya nggak bisa minum dengan benar. Dokter Laktasi juga sempat bilang lidah Aura pendek jadi susah menelan. Saya berulang-ulang membuka mulut Aura karena rasa nggak percaya.
Dokter Laktasi menyarankan agar Aura menjalankan tindakan frenotomi alias pengirisan frenulum! Saya dan suami
shock, pusing, bingung. Stress lebih tepatnya. Dokter memberikan waktu untuk kami berpikir matang-matang sampai sore hari. Saya pun kebingungan sepanjang hari.
Googling sana-sini dan tanya-tanya kerabat soal
tongue tie ini.
**
Akhirnya saya dan suami memutuskan untuk tidak mengambil tindakan pengirisan frenulum. Sorenya saat saya belajar menyusui Aura lagi, Dokter Laktasi datang lagi dengan ibu-ibu yang sepertinya petinggi di RS Brawijaya. Dokter meminta saya untuk menyusui Aura, saya pun mencoba dengan berbagai macam posisi – dan gak ada yang berhasil. Aura malah semakin menjerit setiap saya coba menyusuinya. Dokter laktasi dan si ibu nontonin saya dengan wajah kasihan.
IYA, MUKA KASIHAN.
Si ibu yang gak saya kenal itu sibuk ngeliatin saya dari berbagai posisi, sedangkan saya sibuk memegang Aura yang lagi jejeritan. Di sisi lain, ASI saya tumpah-tumpah dan muncrat ke segala arah, daster saya basah gak karuan. Saya mulai menangis karena stres, gak tau harus bagaimana. Perasaan saya campur aduk dan tangisan pun nggak bisa dibendung. Aura masih meronta-ronta di pelukan saya. Dokter berusaha menenangkan saya dengan berkata, “Sabar ya Mba.” Lalu si ibu juga menepuk bahu saya sambil pamit, “Mba, yang sabar ya.”
Sabar? Haduh rasanya dunia runtuh saat melihat Aura meronta-ronta menolak untuk disusui, saya pun menangis-nangis karena bingung dan marah. Saya marah karena si ibu ini datang ntah dari mana, pakek acara dibawa-bawa segala sama si Dokter Laktasi.
Rasanya gak becus banget jadi orang tua. Rasanya kesel banget sama si suster ‘setan’ yang menghasut saya malam itu. Rasanya lebih kesel lagi karena suami saya juga masih
blank, gak tau mau bantuin apa dan harus bagaimana.
Saya keluar ke balkon, menangis-nangis sesenggukan ditemani suara bising dari
flyover Antasari. Suami saya berusaha menenangkan tapi gak berhasil. Ibu saya juga berusaha menenangkan tapi saya minta waktu untuk sendirian.
Rasanya kacau banget hari itu.
Saat lagi stress banget, saya langsung curhat dengan teman saya via Whatsapp karena ia sedang berada di Paris bersama keluarganya. Teman saya ini ibu dengan dua anak, yang jelas udah lebih ‘senior’ dari saya. Lalu ia menyarankan saya untuk memberikan Aura ASIP dengan
cup feeder atau sendok, selang-seling sambil saya belajar menyusui. Ia pun mengalami hal yang serupa saat melahirkan anak kedua, sama-sama susahnya waktu menyusui dan sempat stres. Tapi teman saya telaten banget, setiap 1-2 jam anaknya selalu disusui sampai ia dan anaknya bisa sama-sama menyusui dengan benar. Ia juga berpesan bahwa saya gak boleh panik karena kuning akibat bilirubin yang tinggi baru menghilang setelah anak berusia 4-6 minggu.
Inget ya ibu-ibu, gak boleh panik! :D
Saya langsung mendadak semangat dan dapat pencerahan baru.
Malam itu juga, saya dan suami mempraktekkan saran teman saya. Kami bangun setiap 1-2 jam untuk memberikan Aura ASIP dari
cup feeder, berselingan dengan menyusui langsung. Walaupun banyak ASIP yang terbuang, kami coba terus sampai saya dan Aura sama-sama bisa mendapatkan posisi menyusui yang benar dan nyaman. Puting saya masih luka, perih banget dan rasanya seperti disayat-sayat. Perut saya sakit sekali setiap menyusui karena sedang terjadi kontraksi rahim.
Esok harinya, Aura diperbolehkan pulang tapi kami diminta kembali lagi ke DSA 3 hari setelah pulang ke rumah.
**
Tiga hari kemudian, hasil tes darah Aura menunjukkan bilirubinnya belum turun, tapi ada kenaikan berat badan walaupun sedikiiiiit sekali. Saya juga bertanya-tanya soal
breastmilk jaundice(saya dan Aura berbeda golongan darah), tapi dokter bilang kami gak perlu khawatir karena Aura masih
adjusting tapi kami harus kontrol lagi minggu depan.
Karena saya dan suami sangat lelah bolak-balik ke dokter, akhirnya kami bertekad nggak mau ke dokter lagi hingga Aura berusia 1 bulan. Nekat? Bodo amat deh, dari pada saya stress ke dokter.
Setiap malam kami telaten memberikan Aura ASIP dari
cup feeder, saya juga belajar berbagai macam posisi menyusui yang benar. Saat Aura berusia dua minggu, Aura mulai bisa menyusui dan saya pun semakin nyaman menyusui Aura.
![photo DSCF3033_zpsvpznofb1.jpg]() |
Aura saat berusia 3 minggu (kiri), Aura saat berusia 4 bulan 2 minggu (kanan). |
Walaupun di awal-awal proses menyusui, dramanya panjang yah ibu-ibu..
Memang satu bulan pertama setelah kehadiran Aura adalah hari-hari yang paling berat bagi ibu baru seperti saya. Tapi dari semua yang saya alami dan perjuangkan akhirnya berbuah manis. Setiap saat saya selalu menikmati waktu-waktu dimana saya bisa menyusui Aura, sambil menatap mata bulatnya yang bersinar-sinar.
Moral of the StoryJangan pernah langsung percaya dengan satu diagnosa saja. Dokter juga manusia, jadi bisa saja salah diagnosa. Tapi lebih parahnya kalau di Indonesia cerita soal ‘salah diagnosa’ itu terlalu banyak hehe. Gak berarti bahwa anak tidak bisa menyusu itu pasti
tongue tie, lip tie atau apa lainnya. Tetap positif dan yakin bahwa kita bisa menyusui. Menyusui memang butuh waktu, kesabaran dan juga pengorbanan. Satu hal yang tidak pernah disebutkan di buku, proses menyusui itu seperti kita PDKT (pendekatan) waktu sama pacar atau calon suami. Perlu adaptasi, nggak selalu mulus seperti yang kita bayangkan.
But in the end, it’s all worth it.Saya mengerti banyak sekali ibu yang tidak dapat menyusui bayinya karena berbagai macam alasan, mulai dari psikologis maupun alasan medis. Setiap orang memiliki kisah dan perjuangan masing-masing, jadi saya harap kita semua saling menghargai. Semua ibu adalah ibu yang terbaik untuk anaknya :)
Happy breastfeeding!
Read more: My IVF Success Story